Oleh:
Herry Eko Jaya Putra
Filsafat
bukanlah topik yang umum untuk dibicarakan. Tidak banyak orang yang memahami
makna sebenarnya dari berfilsafat. Namun yang banyak diketahui oleh masyarakat
kita hari ini adalah stigma negatif yang tersemat padanya. Seorang muslim yang
mengkaji filsafat mungkin saja akan dianggap berbahaya atau bahkan dianggap
sesat oleh beberapa pihak. Betapa tidak, pemikiran filsafat ini telah
melahirkan berbagai pemahaman sesat dalam agama seperti kelompok mu’tazilah dan
syi’ah. Sebagiannya lagi menyebabkan keragu-raguan dalam agama sehingga membawa
kepada atheisme. Beberapa ulama pun mengharamkan pengkajian filsafat karena
mengkhawatirkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkannya. Tetapi apakah benar
filsafat adalah barang berbahaya yang harus dihindari atau ia hanya sebagai
alat berpikir seperti pisau yang nilai gunanya sangat bergantung kepada siapa,
bagaimana dan tujuan orang yang menggunakannya.
Kita
tidak boleh menutup mata bahwa masa kegemilangan ilmu pengetahuan umat Islam di
abad ke 7 M terjadi justru saat umat Islam bersentuhan dengan karya-karya
filsuf Yunani. Karya-karya ini kemudian menginspirasi dan melahirkan banyak
pemikir muslim di zaman tersebut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Jabbar
dll yang jumlahnya jauh melebihi jumlah para filsuf Yunani sebelumnya.
Karya-karya yang dihasilkan oleh pemikir Islam pun ketika itu memiliki jumlah
yang lebih banyak dibandingkan karya yang telah dihasilkan oleh filsuf Yunani.
Pada
masa itu, masyarakat Eropa (Barat) masih terbelakang dan tenggelam dalam zaman
kegelapan (dark age) sedangkan Islam
berada dalam zaman keemasan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang gemilang.
Seorang penulis Amerika menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu sebagaimana
berikut: "Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa akan terlihat
gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum.
Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum.
Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara
jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara
istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa
tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai
masuk sekolah”. Semua itu terjadi akibat perkembangan cara berpikir umat Islam
saat bersentuhan dengan filsafat, dari sebelumnya hanya mengkaji ilmu-ilmu seputar
agama hingga kemudian juga mengkaji ilmu-ilmu alam dan umum. Kita tidak dapat
menutup mata bahwa pada kenyataannya filsafat telah menghantarkan banyak
perkembangan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Sebagai
sebuah alat, bahaya dan manfaat filsafat sangat bergantung kepada siapa, bagaimana
dan tujuan dari si pengguna alat. Filsafat dapat dipahami secara sekuler namun filsafat
juga dapat dipahami dengan berlandaskan kepada Islam. Filsafat hanyalah alat,
bukan tujuan.
A. Definisi Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa yunani dengan
ejaan Philosofi. Ia tersusun dari dua kata yaitu philos yang berarti cinta, dan sofia yang berarti kebijaksanaan atau kearifan, jika di
gabungkan maka arti filsafat secara etimologi adalah cinta kepada
kebijaksanaan. Sampai disini, kita tidak menemukan pertentangan antara makna
filsafat dengan Islam. Karena Islam mengajarkan ummatnya untuk menebar cinta,
kearifan dan kebijaksanaan sebagai wujud dari Rahmatan lil ‘Alamin. Namun
definisi ini masih terlalu umum untuk menggambarkan berbagai aktivitas yang
dilakukan dalam filsafat.
Banyak ahli telah merumuskan definisi
filsafat dengan sudut pandang masing-masing, namun setidaknya sebagai seorang
muslim kita dapat mengelompokkan filsafat ke dalam dua kelompok yaitu Filsafat
Barat dan Filsafat Islam. Berikut ini akan dijelaskan makna filsafat dari kedua
kelompok tersebut.
1. Filsafat
dalam Perspektif Barat
Pertama, kita perlu mendudukkan terlebih
dahulu maksud dari penyebutan “Barat” di sini. Barat tidaklah menunjukkan
sebuah negara, tidak pula letak geografis, sebab Canada terletak di Utara dan Australia
di bagian Selatan namun keduanya digolongkan sebagai Negara Barat. Barat adalah
sebuah pandangan hidup (worldview) yang
bersifat materialis dan tidal religius. Dalam pandangan hidup Barat, agama
dianggap sebagai pengekang kebebasan berpikir. Sehingga dalam filsafat barat,
paham materialis terasa sangat kental. Filsafat barat lebih mengedepankan akal dan
bukti yang bersifat empiris. Sebagaimana yang disampaikan oleh Harun Nasution: filsafat adalah berfikir
menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma atau
agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan
2. Filsafat
dalam Perspektif Islam
Filsafat Islam sebagaimana filsafat
Barat tidaklah mengacu kepada wilayah tertentu melainkan adalah sebuah cara
pandang yang menjadikan Islam sebagai tolak ukur. Islam merupakan kata yang
diambil dari bahasa Arab yang biasa diartikan ‘tunduk patuh’ atau ‘berserah
diri’. Bagi seorang muslim, tindakan dan ucapannya harus senantiasa berada
dalam koridor hukum dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Swt, sebagai
manifestasi dari ketundukan mereka. Jika kata filsafat disandingkan dengan kata
Islam, maka bisa dimaknai bahwa berpikir
kefilsafatan di sini merupakan berpikir dengan menjadikan Islam sebagai worldview-nya.
Dalam tradisi intelektual Islam, kita
temukan tiga istilah yang umum digunakan untuk filsafat. Ketiga istilah
tersebut yaitu hikmah sebagaimana
hikmah yang dikaruniakan oleh Allah kepada Luqman al-Hakim, kedua falsafah yang diserap kedalam kosakata
Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno,dan yang ketiga adalah ‘ulum al-awa’il yang artinya ilmu-ilmu orang zaman dulu yaitu ilmu-ilmu
yang berasal dari peradaban kuno pra-islam seperti India, Persia, Yunani, dan
Romawi. Termasuk di antaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika,
biologi, kedokteran, dan sebagainya.
Secara umum, berfikir kefilsafatan ala
Islam memiliki kesamaan dengan berpikir menggunakan metode filsafat lainnya.
Namun, perbedaan yang menonjol diantara keduanya terletak pada pandangan
masing-masing terhadap wahyu sebagai ilmu. Islam dikubu pro wahyu sebagai ilmu,
sedangkan Barat berada pada posisi kontra. Islam dengan sifat ketundukan dan
kepatuhannya terhadap aturan agama, tentu saja tidak menerapkan kegiatan
berfikir yang sebebas-bebasnya seperti metode berpikir filsafat Barat, karena
sikap bebas itu sendiri bertentangan dengan nama Islam yang berarti tunduk patuh,
bukan bebas tanpa batasan. Berpikir bebas tentulah tidak sejalan dengan prinsip
muslim yang mengakui keterbatasan pemikiran dan adanya rambu-rambu yang diatur
oleh wahyu dalam bidang pemikiran. Misalnya, batasan dari Rasulullah Saw agar
kaum Muslim berpikir tentang ciptaan Allah, bukan tentang Dzat Allah (tafakkaru fi khalqihi wa laa tatafakkaru fi
dzatihi).
B. Berpikir Filsafat
Islam sangat menghargai ilmu
pengetahuan. Terdapat banyak ayat dan hadits Nabi yang memerintahkan umat Islam
untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Diantaranya adalah Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi:
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang
berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dalam ayat lainnya, QS. Ar-Rum: 24, Allah berfirman:
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk
(menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu
menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang mempergunakan akalnya.
Berpikir
adalah aktivitas yang biasa dilakukan oleh banyak orang, namun tidak semua
orang berpikir filsafat. Berpikir filsafat adalah berpikir tentang hakikat
sesuatu. Sehingga lahirlah sebuah pemahaman yang utuh dari sebuah hakikat.
Beberapa karakteristik dalam berpikir filsafat, antara lain:
1. Komprehensif,
artinya berpikir menyeluruh dengan menggunakan seluruh sudut pandang yang
terkait dengan masalah yang dipikirkan. Mempertimbangkan segala aspek untuk
mendapatkan kesimpulan yang universal. Karena setiap ilmu saling berhubungan
dalam sebuah sistem ilmu pengetahuan.
2. Radikal,
artinya hingga mendasar. Sehingga ide yang dibahas memiliki landasan yang kokoh
dan dapat dijadikan sebagai landasan berpijak. Tidak mudah digoyahkankan oleh
argumentasi lainnya.
3. Spekulatif,
artinya dapat dikembangkan untuk menjelajahi wilayah ilmu pengetahuan yang
baru.
C. Perkembangan Cara Berpikir Manusia
Manusia memiliki pekembangan dalam cara
berpikirnya. Secara ringkas, perkembangan pemikiran manusia dibedakan atas tiga
masa perkembangan menurut Auguste Comte (1798-1857). Teori ini kemudian dikenal
sebagai teori positivisme. Tiga masa perkembangan pengetahuan manusia itu
adalah religius, metafisik, dan positif. Artinya, kegiatan pemikiran yang
dilakukan oleh manusia di masa-masa awal adalah kegiatan berpikir yang berdasarkan
pada asas religi atau kepercayaan, sehingga ilmu ketika itu merupakan
penjabaran dari ajaran religi. Pemikiran manusia terus berkembang, berbagai
fenomena alam membutuhkan jawaban, sedangkan ajaran religi tidak mampu
memberikan penjelasan yang memuaskan. Kemudian cara berpikir manusia memasuki
tahap kedua saat orang-orang mulai berspekulasi terhadap berbagai kejadian yang
di temuinya. Spekulasi yang dilakukan terbebas dari dogma-dogma religi. Sistem pengetahuan
kemudian dibangun atas dasar postulat metafisik. Perkembangan zaman dan
perkembangan cara berpikir manusia kemudian mendorong manusia untuk mulai
melakukan penelitian-penelitian ilmiah. Masa ketiga ini adalah masa pengetahuan
ilmiah. Pada masa ini, ilmu dilahirkan atas penelitian dan pengujian yang
positif serta verifikasi yang objektif.
Teori positivisme ini setidaknya memang
telah menggambarkan tahapan perkembangan cara berpikir manusia. Namun teori ini
tidak sepenuhnya benar. Teori ini menganggap bahwa agama adalah jenis
pengetahuan paling primitif yang dimiliki manusia yang akan ditinggalkan saat
pemikiran manusia berkembang lebih maju. Agama dianggap sebagai barang usang
yang tidak dapat digunakan lagi dimasa kini. Namun pada kenyataannya, sampai
hari ini agama dan keyakinan tetap di pegang oleh masyarakat walau perkembangan
ilmu pengetahuan dan cara berpikir sudah maju seperti sekarang. Bahkan faktanya
hari ini tidak semua kebenaran harus dibuktikan terlebih dahulu secara
positiv/empiris. Misalnya: saat seorang dokter memberikan saran kepada pasien terkait
penyakit yang diderita oleh pasien maka pasien percaya saja dengan apa yang
dikatakan oleh dokter tanpa harus membuktikan terlebih dahulu, atau seorang
anak yang meyakini orang tuanya tanpa harus membuktikan secara empiris apakah
kedua orang tuanya adalah benar orang tuanya. Hal demikian menunjukkan bahwa
manusia masih mempercayai informasi yang diyakininya benar termasuk agama tanpa
harus membuktikannya secara empiris.
Perkembangan cara berpikir manusia
memang melalui tiga tahap perkembangan seperti yang dijelaskan diatas, namun
ketiga tahap perkembangan tersebut bukanlah kegiatan yang saling terpisah.
Ketiga jenis cara berpikir manusia itu bisa saja terjadi pada satu waktu
sekaligus saat manusia menemukan suatu fenomena alam. Misalkan, seseorang
menemukan banyaknya ikan yang mati di sebuah danau. Awalnya mungkin ia akan
berpikir secara spekulatif dengan mengajukan berbagai kemungkinan penyebab
terjadinya hal demikian. Atau mungkin saja pemikirannya akan dipengaruhi oleh
keyakinan yang dianut oleh masyarakat sekitar. Kemudian ia melakukan berbagai
penyelidikan/penelitan ilmiah dan menemukan jawaban yang empiris dan objektif.
Bahwa banyaknya ikan mati disebabkan oleh pembuangan limbah yang telah menumpuk
di dasar danau. Saat itu juga ia mungkin mengaitkan kejadian ini dengan ajaran
agamanya yang mengajarkan agar manusia berbuat baik kepada lingkungannya,
karena berbagai kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah tangan manusia.
Dengan demikian, keyakinan/agama, berpikir spekulatif dan penelitian ilmiah bukanlah
hal yang harus dipisahkan melainkan dapat dilakukan sekaligus di zaman seperti
sekarang ini.
D. Cabang-cabang Filsafat
Semakin tingginya aktivitas berpikir
manusia menyebabkan ilmu semakin berkembang, termasuk di dalamnya adalah ilmu
filsafat yang kemudian menghasilkan beberapa cabang ilmu baru. Pada umumnya
para ahli membagi filsafat dalam 6 cabang atau bagian filsafat, yaitu
epistemologi, metafisika, logika, etika, estetika, dan filsafat ilmu. Epistemologi
mengkaji tentang struktur pengetahuan, metafisika tentang realitas suatu objek,
logika berhubungan dengan cara berpikir, etika berkaitan dengan moral, estetika
tentang keindahan dan filsafat ilmu membahas tentang hakikat suatu ilmu.
Filsafat ilmu kemudian melahirkan cabangnya sendiri-sendiri berdasarkan
disiplin ilmu masing-masing seperti filsafat hukum, filsafat pendidikan,
filsafat sejarah, filsafat bahasa, filsafat ilmu kealaman, dan filsafat
matematika.
E. Pentingnya Berpikir Filsafat
Ilmu pengetahuan hari ini berkembang
dengan pesat dan cepat meliputi seluruh sendi kehidupan. Sementara itu, ilmu
pengetahuan di sekolah-sekolah masih banyak diajarkan secara teoritis.
Kebanyakan guru hanya mengejarkan target materi pelajaran tanpa mengajarkan
hakikat dari ilmu pengetahuan tersebut. Hasilnya seperti yang kita lihat
sekarang ini, anak-anak mempelajari banyak hal disekolah namun mendapatkan
sedikit pelajaran dari apa yang dipelajarinya. Mempelajari ilmu pengetahuan
tidak membuat anak-anak kita semakin dewasa dan bijaksana. Sebagai contoh: pelajaran
bahasa di sekolah tidak membuat tutur kata dan bahasa anak-anak kita lebih baik
dan santun ketika berkomunikasi, belajar matematika tidak membuat mereka
berpikir logis ketika menghadapi masalah kehidupan, belajar sejarah tidak
membentuk jati diri mereka sebagai bangsa pejuang, belajar IPA tidak membuat
mereka mencintai lingkungan sekitarnya, belajar sosial belum mampu membuat
anak-anak kita hidup berdampingan dan saling membantu sebagai sesama manusia,
melainkan mereka melakukan tawuran di banyak tempat, bahkan mempelajari agama
di sekolah belum banyak membantu untuk membuat anak-anak kita menjadi pribadi
yang beriman dan bertaqwa. Ilmu yang mereka pelajari di sekolah hari ini lebih
banyak bersifat teoritis tapi belum menyentuh hakikat dari ilmu itu sendiri.
Yang diketahui oleh anak-anak kita hari ini di sekolah adalah mereka belajar
untuk mendapatkan ijazah agar bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih
tinggi dan bekerja pada institusi yang mereka harapkan. Ilmu bagi mereka saat
ini hanya sebagai alat untuk meraih cita-cita (pekerjaan) mereka di masa
mendatang bukan untuk membentuk jati diri mereka.
Sudah saatnya para guru meninggalkan
cara lama yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan secara teoritis dari sudut
pandang ilmu itu sendiri dengan tidak menghiraukan keterkaitannya dengan
kehidupan. Jangan mempelajari matematika hanya dengan ilmu matematika, tapi pelajarilah
matematika kehidupan. Begitu juga dengan bidang ilmu lainnya, kaitkanlah dengan
kehidupan yang sedang dan akan dijalani oleh anak-anak kita. Para guru hendaknya
mulai mengembangkan kemampuan berpikir filsafatnya agar siswa mendapatkan
hakikat dari setiap ilmu yang mereka pelajari, bukan hanya sekedar teori yang
harus dihafalkan.
Ilmu tidak akan berguna jika hanya
sekedar teori yang tidak membekas dalam kehidupan. Dengan berpikir filsafat,
seharusnya mampu membuat manusia semakin dekat dengan Tuhannya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Ruysd bahwa kegiatan filsafat Islam justru membuat
orang yang berfilsafat semakin dekat dengan Tuhannya. Dengan mengetahui
ciptaanNya maka semakin sempurnalah pengetahuan manusia tentang Sang
Penciptanya.
F. Rambu-rambu
Albert Einstein pernah mengatakan bahwa:
ilmu tanpa agama menjadi lumpuh, agama tanpa ilmu menjadi buta. Untuk mencapai
kesuksesan, kita tidak mungkin melakukan dikotomi antara ilmu dan agama.
Anggapan filsafat barat tentang agama dapat menghambat kemajuan berpikir
manusia adalah anggapan yang salah. Justru agama merupakan unsur pengarah dan
penyeimbang agar ilmu pengetahuan berkembang untuk kemaslahatan umat manusia,
bukan justru untuk menghancurkan kemanusiaan.
Islam sangat menghargai ilmu
pengetahuan, sebagaimana al-Qur’an dan Rasul Muhammad Saw yang membolehkan umat
Islam menggunakan akalnya dalam mengeksplorasi alam semesta. Nabi saw sendiri
pernah memberitahukan kepada seorang petani kurma di Madinah; antum a’lamu bi umuri dunyakum; kalian
lebih tahu tentang urusan dunia kalian. Dan juga kepada Mu’adz ibnu Jabal yang
diutusnya ke Yaman, Nabi saw memberikan restu kepadanya untuk melakukan
ijtihad. Namun demikian, bukan berarti manusia diberikan kebebasan sepenuhnya
dalam berijtihad. Ijtihad hanya dilakukan untuk hal-hal yang bersifat cabang
dan multi tafsir, tetapi tidak untuk persoalan-persoalan yang telah disinggung
dengan jelas oleh nash (la ijtihada fi
mauridin-nash).
Sebagai seorang muslim, setiap aktivitas
kita tidak akan pernah terlepas dari aturan yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT dan Rasul-Nya. Begitu juga dalam aktivitas berpikir. Walaupun Islam sangat
menghargai orang-orang yang berpikir dan sangat menyarankan agar umat Islam
membiasakan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang sangat banyak di alam, namun
semuanya tetap harus dilakukan sesuai dengan rambu-rambu yang dibolehkan oleh
agama. Artinya, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul harus menjadi acuan dalam setiap ide
dan tindakan. Jangan sampai terbawa arus pemikiran yang membuat kita semakin
jauh dari Allah Sang Maha Pencipta. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang
melampaui batas. Wallahua’lam
bish-shawab.
No comments:
Post a Comment