Laman

Tuesday, December 27, 2016

SEBUAH REFLEKSI MATA KULIAH FILSAFAT ILMU


Oleh: Herry Eko Jaya Putra

Filsafat bukanlah topik yang umum untuk dibicarakan. Tidak banyak orang yang memahami makna sebenarnya dari berfilsafat. Namun yang banyak diketahui oleh masyarakat kita hari ini adalah stigma negatif yang tersemat padanya. Seorang muslim yang mengkaji filsafat mungkin saja akan dianggap berbahaya atau bahkan dianggap sesat oleh beberapa pihak. Betapa tidak, pemikiran filsafat ini telah melahirkan berbagai pemahaman sesat dalam agama seperti kelompok mu’tazilah dan syi’ah. Sebagiannya lagi menyebabkan keragu-raguan dalam agama sehingga membawa kepada atheisme. Beberapa ulama pun mengharamkan pengkajian filsafat karena mengkhawatirkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkannya. Tetapi apakah benar filsafat adalah barang berbahaya yang harus dihindari atau ia hanya sebagai alat berpikir seperti pisau yang nilai gunanya sangat bergantung kepada siapa, bagaimana dan tujuan orang yang menggunakannya.
Kita tidak boleh menutup mata bahwa masa kegemilangan ilmu pengetahuan umat Islam di abad ke 7 M terjadi justru saat umat Islam bersentuhan dengan karya-karya filsuf Yunani. Karya-karya ini kemudian menginspirasi dan melahirkan banyak pemikir muslim di zaman tersebut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Jabbar dll yang jumlahnya jauh melebihi jumlah para filsuf Yunani sebelumnya. Karya-karya yang dihasilkan oleh pemikir Islam pun ketika itu memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan karya yang telah dihasilkan oleh filsuf Yunani. 
Pada masa itu, masyarakat Eropa (Barat) masih terbelakang dan tenggelam dalam zaman kegelapan (dark age) sedangkan Islam berada dalam zaman keemasan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang gemilang. Seorang penulis Amerika menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu sebagaimana berikut: "Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa akan terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah”. Semua itu terjadi akibat perkembangan cara berpikir umat Islam saat bersentuhan dengan filsafat, dari sebelumnya hanya mengkaji ilmu-ilmu seputar agama hingga kemudian juga mengkaji ilmu-ilmu alam dan umum. Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada kenyataannya filsafat telah menghantarkan banyak perkembangan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini.
Sebagai sebuah alat, bahaya dan manfaat filsafat sangat bergantung kepada siapa, bagaimana dan tujuan dari si pengguna alat. Filsafat dapat dipahami secara sekuler namun filsafat juga dapat dipahami dengan berlandaskan kepada Islam. Filsafat hanyalah alat, bukan tujuan.

A.  Definisi Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa yunani dengan ejaan Philosofi. Ia tersusun dari dua kata yaitu philos yang berarti cinta, dan sofia yang berarti kebijaksanaan atau kearifan, jika di gabungkan maka arti filsafat secara etimologi adalah cinta kepada kebijaksanaan. Sampai disini, kita tidak menemukan pertentangan antara makna filsafat dengan Islam. Karena Islam mengajarkan ummatnya untuk menebar cinta, kearifan dan kebijaksanaan sebagai wujud dari Rahmatan lil ‘Alamin. Namun definisi ini masih terlalu umum untuk menggambarkan berbagai aktivitas yang dilakukan dalam filsafat.
Banyak ahli telah merumuskan definisi filsafat dengan sudut pandang masing-masing, namun setidaknya sebagai seorang muslim kita dapat mengelompokkan filsafat ke dalam dua kelompok yaitu Filsafat Barat dan Filsafat Islam. Berikut ini akan dijelaskan makna filsafat dari kedua kelompok tersebut.
1.      Filsafat dalam Perspektif Barat
Pertama, kita perlu mendudukkan terlebih dahulu maksud dari penyebutan “Barat” di sini. Barat tidaklah menunjukkan sebuah negara, tidak pula letak geografis, sebab Canada terletak di Utara dan Australia di bagian Selatan namun keduanya digolongkan sebagai Negara Barat. Barat adalah sebuah pandangan hidup (worldview) yang bersifat materialis dan tidal religius. Dalam pandangan hidup Barat, agama dianggap sebagai pengekang kebebasan berpikir. Sehingga dalam filsafat barat, paham materialis terasa sangat kental. Filsafat barat lebih mengedepankan akal dan bukti yang bersifat empiris. Sebagaimana yang disampaikan oleh Harun Nasution: filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma atau agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan

2.      Filsafat dalam Perspektif Islam
Filsafat Islam sebagaimana filsafat Barat tidaklah mengacu kepada wilayah tertentu melainkan adalah sebuah cara pandang yang menjadikan Islam sebagai tolak ukur. Islam merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab yang biasa diartikan ‘tunduk patuh’ atau ‘berserah diri’. Bagi seorang muslim, tindakan dan ucapannya harus senantiasa berada dalam koridor hukum dan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Swt, sebagai manifestasi dari ketundukan mereka. Jika kata filsafat disandingkan dengan kata Islam, maka bisa dimaknai bahwa berpikir kefilsafatan di sini merupakan berpikir dengan menjadikan Islam sebagai worldview-nya.
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum digunakan untuk filsafat. Ketiga istilah tersebut yaitu hikmah sebagaimana hikmah yang dikaruniakan oleh Allah kepada Luqman al-Hakim, kedua falsafah yang diserap kedalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno,dan yang ketiga adalah ‘ulum al-awa’il yang artinya ilmu-ilmu orang zaman dulu yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-islam seperti India, Persia, Yunani, dan Romawi. Termasuk di antaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.
Secara umum, berfikir kefilsafatan ala Islam memiliki kesamaan dengan berpikir menggunakan metode filsafat lainnya. Namun, perbedaan yang menonjol diantara keduanya terletak pada pandangan masing-masing terhadap wahyu sebagai ilmu. Islam dikubu pro wahyu sebagai ilmu, sedangkan Barat berada pada posisi kontra. Islam dengan sifat ketundukan dan kepatuhannya terhadap aturan agama, tentu saja tidak menerapkan kegiatan berfikir yang sebebas-bebasnya seperti metode berpikir filsafat Barat, karena sikap bebas itu sendiri bertentangan dengan nama Islam yang berarti tunduk patuh, bukan bebas tanpa batasan. Berpikir bebas tentulah tidak sejalan dengan prinsip muslim yang mengakui keterbatasan pemikiran dan adanya rambu-rambu yang diatur oleh wahyu dalam bidang pemikiran. Misalnya, batasan dari Rasulullah Saw agar kaum Muslim berpikir tentang ciptaan Allah, bukan tentang Dzat Allah (tafakkaru fi khalqihi wa laa tatafakkaru fi dzatihi).

B.  Berpikir Filsafat
Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Terdapat banyak ayat dan hadits Nabi yang memerintahkan umat Islam untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Diantaranya adalah Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
 
Dalam ayat lainnya, QS. Ar-Rum: 24, Allah berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.  

Berpikir adalah aktivitas yang biasa dilakukan oleh banyak orang, namun tidak semua orang berpikir filsafat. Berpikir filsafat adalah berpikir tentang hakikat sesuatu. Sehingga lahirlah sebuah pemahaman yang utuh dari sebuah hakikat. Beberapa karakteristik dalam berpikir filsafat, antara lain:
1.      Komprehensif, artinya berpikir menyeluruh dengan menggunakan seluruh sudut pandang yang terkait dengan masalah yang dipikirkan. Mempertimbangkan segala aspek untuk mendapatkan kesimpulan yang universal. Karena setiap ilmu saling berhubungan dalam sebuah sistem ilmu pengetahuan.
2.      Radikal, artinya hingga mendasar. Sehingga ide yang dibahas memiliki landasan yang kokoh dan dapat dijadikan sebagai landasan berpijak. Tidak mudah digoyahkankan oleh argumentasi lainnya.
3.      Spekulatif, artinya dapat dikembangkan untuk menjelajahi wilayah ilmu pengetahuan yang baru.

C.  Perkembangan Cara Berpikir Manusia
Manusia memiliki pekembangan dalam cara berpikirnya. Secara ringkas, perkembangan pemikiran manusia dibedakan atas tiga masa perkembangan menurut Auguste Comte (1798-1857). Teori ini kemudian dikenal sebagai teori positivisme. Tiga masa perkembangan pengetahuan manusia itu adalah religius, metafisik, dan positif. Artinya, kegiatan pemikiran yang dilakukan oleh manusia di masa-masa awal adalah kegiatan berpikir yang berdasarkan pada asas religi atau kepercayaan, sehingga ilmu ketika itu merupakan penjabaran dari ajaran religi. Pemikiran manusia terus berkembang, berbagai fenomena alam membutuhkan jawaban, sedangkan ajaran religi tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Kemudian cara berpikir manusia memasuki tahap kedua saat orang-orang mulai berspekulasi terhadap berbagai kejadian yang di temuinya. Spekulasi yang dilakukan terbebas dari dogma-dogma religi. Sistem pengetahuan kemudian dibangun atas dasar postulat metafisik. Perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia kemudian mendorong manusia untuk mulai melakukan penelitian-penelitian ilmiah. Masa ketiga ini adalah masa pengetahuan ilmiah. Pada masa ini, ilmu dilahirkan atas penelitian dan pengujian yang positif serta verifikasi yang objektif.
Teori positivisme ini setidaknya memang telah menggambarkan tahapan perkembangan cara berpikir manusia. Namun teori ini tidak sepenuhnya benar. Teori ini menganggap bahwa agama adalah jenis pengetahuan paling primitif yang dimiliki manusia yang akan ditinggalkan saat pemikiran manusia berkembang lebih maju. Agama dianggap sebagai barang usang yang tidak dapat digunakan lagi dimasa kini. Namun pada kenyataannya, sampai hari ini agama dan keyakinan tetap di pegang oleh masyarakat walau perkembangan ilmu pengetahuan dan cara berpikir sudah maju seperti sekarang. Bahkan faktanya hari ini tidak semua kebenaran harus dibuktikan terlebih dahulu secara positiv/empiris. Misalnya: saat seorang dokter memberikan saran kepada pasien terkait penyakit yang diderita oleh pasien maka pasien percaya saja dengan apa yang dikatakan oleh dokter tanpa harus membuktikan terlebih dahulu, atau seorang anak yang meyakini orang tuanya tanpa harus membuktikan secara empiris apakah kedua orang tuanya adalah benar orang tuanya. Hal demikian menunjukkan bahwa manusia masih mempercayai informasi yang diyakininya benar termasuk agama tanpa harus membuktikannya secara empiris.
Perkembangan cara berpikir manusia memang melalui tiga tahap perkembangan seperti yang dijelaskan diatas, namun ketiga tahap perkembangan tersebut bukanlah kegiatan yang saling terpisah. Ketiga jenis cara berpikir manusia itu bisa saja terjadi pada satu waktu sekaligus saat manusia menemukan suatu fenomena alam. Misalkan, seseorang menemukan banyaknya ikan yang mati di sebuah danau. Awalnya mungkin ia akan berpikir secara spekulatif dengan mengajukan berbagai kemungkinan penyebab terjadinya hal demikian. Atau mungkin saja pemikirannya akan dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut oleh masyarakat sekitar. Kemudian ia melakukan berbagai penyelidikan/penelitan ilmiah dan menemukan jawaban yang empiris dan objektif. Bahwa banyaknya ikan mati disebabkan oleh pembuangan limbah yang telah menumpuk di dasar danau. Saat itu juga ia mungkin mengaitkan kejadian ini dengan ajaran agamanya yang mengajarkan agar manusia berbuat baik kepada lingkungannya, karena berbagai kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah tangan manusia. Dengan demikian, keyakinan/agama, berpikir spekulatif dan penelitian ilmiah bukanlah hal yang harus dipisahkan melainkan dapat dilakukan sekaligus di zaman seperti sekarang ini.

D.  Cabang-cabang Filsafat
Semakin tingginya aktivitas berpikir manusia menyebabkan ilmu semakin berkembang, termasuk di dalamnya adalah ilmu filsafat yang kemudian menghasilkan beberapa cabang ilmu baru. Pada umumnya para ahli membagi filsafat dalam 6 cabang atau bagian filsafat, yaitu epistemologi, metafisika, logika, etika, estetika, dan filsafat ilmu. Epistemologi mengkaji tentang struktur pengetahuan, metafisika tentang realitas suatu objek, logika berhubungan dengan cara berpikir, etika berkaitan dengan moral, estetika tentang keindahan dan filsafat ilmu membahas tentang hakikat suatu ilmu. Filsafat ilmu kemudian melahirkan cabangnya sendiri-sendiri berdasarkan disiplin ilmu masing-masing seperti filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat sejarah, filsafat bahasa, filsafat ilmu kealaman, dan filsafat matematika.

E.  Pentingnya Berpikir Filsafat
Ilmu pengetahuan hari ini berkembang dengan pesat dan cepat meliputi seluruh sendi kehidupan. Sementara itu, ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah masih banyak diajarkan secara teoritis. Kebanyakan guru hanya mengejarkan target materi pelajaran tanpa mengajarkan hakikat dari ilmu pengetahuan tersebut. Hasilnya seperti yang kita lihat sekarang ini, anak-anak mempelajari banyak hal disekolah namun mendapatkan sedikit pelajaran dari apa yang dipelajarinya. Mempelajari ilmu pengetahuan tidak membuat anak-anak kita semakin dewasa dan bijaksana. Sebagai contoh: pelajaran bahasa di sekolah tidak membuat tutur kata dan bahasa anak-anak kita lebih baik dan santun ketika berkomunikasi, belajar matematika tidak membuat mereka berpikir logis ketika menghadapi masalah kehidupan, belajar sejarah tidak membentuk jati diri mereka sebagai bangsa pejuang, belajar IPA tidak membuat mereka mencintai lingkungan sekitarnya, belajar sosial belum mampu membuat anak-anak kita hidup berdampingan dan saling membantu sebagai sesama manusia, melainkan mereka melakukan tawuran di banyak tempat, bahkan mempelajari agama di sekolah belum banyak membantu untuk membuat anak-anak kita menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa. Ilmu yang mereka pelajari di sekolah hari ini lebih banyak bersifat teoritis tapi belum menyentuh hakikat dari ilmu itu sendiri. Yang diketahui oleh anak-anak kita hari ini di sekolah adalah mereka belajar untuk mendapatkan ijazah agar bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi dan bekerja pada institusi yang mereka harapkan. Ilmu bagi mereka saat ini hanya sebagai alat untuk meraih cita-cita (pekerjaan) mereka di masa mendatang bukan untuk membentuk jati diri mereka.
Sudah saatnya para guru meninggalkan cara lama yang hanya mengajarkan ilmu pengetahuan secara teoritis dari sudut pandang ilmu itu sendiri dengan tidak menghiraukan keterkaitannya dengan kehidupan. Jangan mempelajari matematika hanya dengan ilmu matematika, tapi pelajarilah matematika kehidupan. Begitu juga dengan bidang ilmu lainnya, kaitkanlah dengan kehidupan yang sedang dan akan dijalani oleh anak-anak kita. Para guru hendaknya mulai mengembangkan kemampuan berpikir filsafatnya agar siswa mendapatkan hakikat dari setiap ilmu yang mereka pelajari, bukan hanya sekedar teori yang harus dihafalkan.

Ilmu tidak akan berguna jika hanya sekedar teori yang tidak membekas dalam kehidupan. Dengan berpikir filsafat, seharusnya mampu membuat manusia semakin dekat dengan Tuhannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ruysd bahwa kegiatan filsafat Islam justru membuat orang yang berfilsafat semakin dekat dengan Tuhannya. Dengan mengetahui ciptaanNya maka semakin sempurnalah pengetahuan manusia tentang Sang Penciptanya.

F.   Rambu-rambu
 Albert Einstein pernah mengatakan bahwa: ilmu tanpa agama menjadi lumpuh, agama tanpa ilmu menjadi buta. Untuk mencapai kesuksesan, kita tidak mungkin melakukan dikotomi antara ilmu dan agama. Anggapan filsafat barat tentang agama dapat menghambat kemajuan berpikir manusia adalah anggapan yang salah. Justru agama merupakan unsur pengarah dan penyeimbang agar ilmu pengetahuan berkembang untuk kemaslahatan umat manusia, bukan justru untuk menghancurkan kemanusiaan.
Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan, sebagaimana al-Qur’an dan Rasul Muhammad Saw yang membolehkan umat Islam menggunakan akalnya dalam mengeksplorasi alam semesta. Nabi saw sendiri pernah memberitahukan kepada seorang petani kurma di Madinah; antum a’lamu bi umuri dunyakum; kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian. Dan juga kepada Mu’adz ibnu Jabal yang diutusnya ke Yaman, Nabi saw memberikan restu kepadanya untuk melakukan ijtihad. Namun demikian, bukan berarti manusia diberikan kebebasan sepenuhnya dalam berijtihad. Ijtihad hanya dilakukan untuk hal-hal yang bersifat cabang dan multi tafsir, tetapi tidak untuk persoalan-persoalan yang telah disinggung dengan jelas oleh nash (la ijtihada fi mauridin-nash).
Sebagai seorang muslim, setiap aktivitas kita tidak akan pernah terlepas dari aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Begitu juga dalam aktivitas berpikir. Walaupun Islam sangat menghargai orang-orang yang berpikir dan sangat menyarankan agar umat Islam membiasakan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang sangat banyak di alam, namun semuanya tetap harus dilakukan sesuai dengan rambu-rambu yang dibolehkan oleh agama. Artinya, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul harus menjadi acuan dalam setiap ide dan tindakan. Jangan sampai terbawa arus pemikiran yang membuat kita semakin jauh dari Allah Sang Maha Pencipta. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang melampaui batas. Wallahua’lam bish-shawab.

No comments:

Post a Comment